Sabtu, 20 Desember 2008

KELUGUAN JEMAAH HAJI INDONESIA

Oleh Edy M Ya`kub
Jakarta (ANTARA News) - Kedatangan jemaah haji Indonesia ke Tanah Suci agaknya bukan hanya perkara ibadah, tapi ada banyak benturan budaya di dalamnya.Apalagi, jemaah haji Indonesia umumnya masyarakat desa yang awam dengan budaya kota, tapi mereka sekarang dipaksa memahami budaya di luar negeri.Misalnya, cerita jemaah haji dari sektor I non-Markaziyah, Syaerozi, yang mengaku sudah tiga kali menunaikan ibadah haji."Ada jemaah haji yang satu regu dengan saya tampak kelelahan setelah tiga hari ada di Madinah, kemudian saya tanya," kata jemaah haji asal Sidoarjo itu.Ternyata, dia ada di lantai empat, tapi dia tidak tahu cara naik lift (tangga listrik), sehingga dia terpaksa jalan kaki pada setiap hari.Padahal, katanya, jemaah yang naik-turun lift adalah pedagang asal "kota besar" Surabaya yang berjualan di Darma Trade Centre (DTC) Wonokromo."Saya menduga, kalau berjualan di DTC, dia nggak pernah naik lift atau eskalator, tapi naik tangga yang biasa," katanya.Oleh karena itu, katanya, dirinya pun membimbing pedagang itu tentang tatacara menggunakan lift hingga jemaah asal "kota besar" itu pun terbiasa.Kendati lugu, sejumlah jemaah haji Indonesia juga tidak mampu menghentikan budaya merokok, meski barang bawaan berupa rokok selalu diperiksa.Munir adalah salah satu contoh jemaah haji yang tak mampu menghentikan kebiasan merokok untuk sementara waktu berada di Tanah Suci."Saya bawa tiga slop (60-an bungkus rokok), tapi dibuka dan disebar agar nggak ketahuan, ada yang disimpan di koper saya, ada juga yang di koper isteri," kata jemaah asal Sidoarjo itu tentang cara menyiasati razia.Bahkan, dia juga mempunyai cerita lain tentang rokok itu. "Selama beberapa kali nongkrong (duduk-duduk santai) di sini, banyak juga orang Afrika, India, dan Pakistan yang datang menemui saya untuk sekedar minta rokok," katanya.Bagaimana caranya? "Ya, pakai bahasa tarsan (bahasa tubuh)," kata jemaah haji keturunan Madura itu, sambil terus menghisap rokoknya.Bimbingan rinciSikap lugu agaknya membuat jemaah haji Indonesia juga mengambil jalan pintas, seperti di pemondokan jemaah haji non-Markaziyah sektor I dari kloter 32 SOC (Solo)."Di sini (pemondokan sektor I kloter 32 SOC), dispenser hanya mengalirkan air dingin dan air biasa, sedangkan air panas tidak ada, tapi pemiliknya menyediakan kompor listrik dan microwave," kata petugas TPIHI kloter 32 SOC (Solo), HM Solikhin.Masalahnya, jemaah haji asal Jepara, Jawa Tengah itu tidak terbiasa dengan kompor pemanas yang canggih seperti itu, sehingga mereka mengambil jalan pintas dengan membeli "hitter" (alat pemanas air listrik) yang mudah dan sederhana."Akibatnya, di sini nyaris terjadi kebakaran di kamar 201 pada pekan lalu, karena salah seorang jemaah haji merebus air dengan hitter yang diletakkan di atas meja TV dan kulkas, kemudian ditinggal keluar untuk Arbain," katanya.Akhirnya, kepulan asap pun keluar dari pemondokan itu, namun semprotan air di kamar pemondokan berfungsi, sehingga kebakaran tidak menjalar kemana-mana.Meski demikian, tiga koper jemaah yang ditumpuk di dekat TV, kulkas, dan hitter itu pun hangus terbakar."Andaikata air panas bisa didapat dengan dispenser, tentu masalahnya akan selesai," katanya.Tidak hanya itu, jemaah haji saat menjalankan salat Arbain pun masih ada yang belum tahu "Raudah" (bekas rumah Rasulullah SAW yang disebut `taman surga` dengan letak lokasi ada di antara makam dan mimbar nabi)."Mereka tidak tahu, tapi mereka tidak mau bertanya, mereka hanya perkiraan saja sesuai keterangan pembimbing ibadah, padahal dalam kenyataan bisa sangat berbeda," kata Syaerozi dari Sidoarjo, Jatim.Misalnya, katanya, pembimbing ibadah mengatakan "taman surga" Raudah yang luasnya sekitar 144 meter persegi itu memiliki lantai yang dilapisi karpet wool berwarna putih, sedangkan warna karpet Masjid Nabawi adalah merah."Ungkapan itu pun masih membuat bingung jemaah haji Indonesia, karena warna putih di Raudah itu sekarang sudah agak tidak seputih dulu, tapi warnanya kekuning-kuningan akibat lama dipakai," katanya.Oleh karena itu, Syaerozi pun akhirnya membimbing jemaah haji dengan satu persatu untuk mengetahui dari dekat dan langsung tentang Raudah itu sendiri. "Itu baru satu tempat," katanya.Realitas tentang keluguan jemaah haji Indonesia itu agaknya menuntut adanya penjelasan yang rinci kepada mereka dari ketua regu, ketua rombongan, atau buku petunjuk yang rinci tapi mudah dan sederhana bahasanya.(*)

Tidak ada komentar: