Sabtu, 25 Juli 2009

GAMBARAN UMUM PONDOKAN JAMAAH DAN TRANSPORTASI









Bagi jamaah haji Indonesia, ibadah tahun 2008 ini ditandai dengan jauhnya lokasi pondokan di kota Mekkah dari Masjidil Haram. Menurut data yang saya dapat di lapangan, jika tahun 2007 lalu penyelenggara haji Indonesia hanya menyediakan layanan angkutan bis bagi 30% jamaah kita yang tinggal diluar ring-1, maka tahun ini angka itu menjadi terbalik, hanya 30% jamaah yang berada dalam ring-1 yang tidak harus dilayani bis. Artinya ada 70% jamaah tinggal diluar lingkar terdekat dengan Masjidil Haram yang harus dilayani bis.
Jamaah haji Indonesia tahun ini dan tahun lalu sama, sekitar 210 ribu orang. Untuk melayani angkutan jamaah dari pondokan ke Masjidil Haram, tahun lalu Depag RI menyewa 90 bis. Tahun ini? Konon mencapai 600 unit bis. Hebatnya, layanan bis ini dijalankan operasionalnya oleh tim dari Indonesia sendiri. Tim dengan pengalaman operasional sangat minim ini harus mengkoordinir 600 bis yang sebagian besar dibawa oleh supir berkebangsaan Arab dan harus melayani area yang sangat luas dengan lokasi pondokan saling berjauhan. Jumlah jamaah yang harus dilayani sekitar 147 ribu jamaah yang tinggal di luar Ring-1.

Bis untuk Jamaah
Pada saat mengetahui informasi tersebut, saya sudah langsung bersiap untuk realistis menghadapi keadaan yang akan timbul di Mekkah. Tidak bisa terlalu mengandalkan angkutan bis, harus siap jalan kaki atau naik taksi umum. Harus rela mengatur jadwal ibadah ke Kabah di waktu-waktu yang kurang nyaman demi menghindari rush hour. Dan tentu saja harus siap untuk sabar menghadapi segala situasi.
Walau kenyataan di lapangan memang banyak sekali ketidaknyamanan, alhamdulillah saya mampu menjaga agar tetap dapat berada di Masjidil Haram sesuai harapan walau terkadang harus menguras tenaga ekstra agar bisa sampai tepat waktu.
Transportasi

Bis untuk Jamaah Indonesia

Bis untuk Jamaah Indonesia
Cerita-cerita tentang begitu padatnya antrian dan rebutan masuk bis yang dialami jamaah Indonesia adalah benar adanya. Sedih sekali menyaksikan hal itu terjadi, terutama melihat ibu-ibu dan jamaah uzur yang terpaksa harus berlarian dan berdesakan masuk bis. Namun semua itu sebenarnya bisa dengan mudah dihindari jikalau ada sosialisasi pada jamaah untuk mau mengatur jadwal mereka menghindari rush hour. Contoh kecil adalah saat selesai shalat Isya. Jika kita masuk terminal persis setelah sholat, dipastikan jamaah akan berhadapan dengan lautan jamaah yang berebutan masuk bis yang langka karena kepadatan jalan masuk ke terminal. Namun bila jamaah mau sabar sedikit saja, katakanlah zikir lebih lama plus baca Al-Quran setelah Isya, atau keliling belanja dulu di toko-toko dekat terminal, kemudian masuk terminal sekitar pukul 21.30 keatas, saya pastikan kepadatan sudah jauh berkurang dan bis yang masuk lebih banyak jumlahnya.
Satu hal yang menurut saya membuat gambaran layanan bis ini menjadi sangat buruk adalah karakter jamaah Indonesia sendiri yang sangat buruk. Tidak mau mengalah, tidak tertib, egois, adalah beberapa dari karakter bangsa kita yang sungguh membuat hati miris dan membuat malu dilihat oleh bangsa lain. Jumlah jamaah Turki hampir sama dengan kita, namun ketertiban dan taat azas yang ada di mereka sungguh membuat bangsa kita menjadi tampak begitu “terkebelakang”. Wajar jika hingga kini bangsa kita terus terpuruk dan sulit bersaing dengan bangsa lain.
Pondokan

Pondokan Jamaah Indonesia
Sebagian besar jamaah kita, termasuk kloter kami, ditempatkan di wilayah yang belum pernah ditempati jamaah hajoi sebelumnya. Lokasi kami ada di daerah bernama Hijrah, suatu areal di utara Masjidil Haram yang jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 4-6 km. Namun bila harus menggunakan bis atau berjalan kami, maka jarak tempuh nyata bisa mencapai sekitar 7-8 km. Jika dibandingkan cerita teman-teman yang berhaji 3-4 tahun lalu, jarak ini sungguh jauh. Saat mereka dulu, pondokan semua berada dalam jarak sangat dekat dan bisa ditempuh nyaman dengan berjalan kaki.
Jika melihat peta lokasi pondokan, maka memang secara keseluruhan pondokan Indonesia yang berada diluar ring-1 sungguh jauh. Jalan kaki sangat berat dilakukan, dalam kasus kami diperlukan sekitar 50 menit berjalan kaki dari Masjidil Haram ke pondokan 507 di wilayah Hijrah tempat kami tinggal. Bagi jamaah muda yang masih kuat dan bersemangat tinggi, hal itu masih bisa dilakukan, namun bagi yang lain?
Uniknya lagi, bis tidak bisa hanya menunggu di terminal, namun terpaksa harus menjemput jemaah di pondokan masing-masing karena jauhnya jarak antar satu pondokan ke pondokan lain. Jadi seperti di wilayah Hijrah tempat kami, terminal bis rute B6 ditempatkan persis didepan pondokan kami. Jika hendak berangkat ke Masjidil Haram, maka bis akan berangkat dari terminal dengan sejumlah jamaah yang naik dari teminal, kemudian bis akan berkeliling ke sekitar 5-7 pondokan lain untuk “memungut” penumpang lain. Yang sering terjadi, jamaah dari pondokan yang terjauh terpaksa tidak mendapat tempat karena bis sudah penuh dengan penumpang dari pondokan sebelumnya, padahal bis sudah selalu dipaksakan untuk dipadatkan hingga penuh penumpang yang berdiri.
Madinah, Arafah dan Mina
Untuk pemondokan dan transportasi di Madinah, hampir tidak ada masalah sama sekali, smooth as silk… Semua pondokan dalam jarak tempuh yang cukup dekat dan bisa berjalan kaki. Keadaan di Madinah juga cukup terkontrol karena tidak terjadi penumpukan seluruh jamaah haji dalam kurun waktu tertentu, walau keadaan di Mesjid Nabawi tetap saja sangat padat. Kalaupun ada yang masih bisa diperbaiki adalah kualitas katering bagi jamaah selama di Madinah yang banyak dikeluhkan. Kemudian juga waktu yang terlalu mepet untuk melakukan sholat wajib 40 waktu (sholat arbain). Jika terjadi masalah sedikit saja, maka jadwal sholat bisa berkurang dan tidak mencapai 40 waktu seperti yang dialami telan dari kloter lain.
Kemudian di Arafah dan Mina juga bagi saya sangat lancar, mulai dari pengorganisasian transportasi model taradudi (English: shutle system), pondokan/perkemahan serta konsumsi yang memakai sistem prasmanan dan berlebih-lebihan dari sisi kuantitas. Walau beberapa jamaah masih ngomel soal antrian di toilet dan makan prasmanan, namun bagi saya semuanya masih dalam batas toleransi dan baik. Bahkan nilai plus berikutnya bagi saya adalah kualitas menu baik di Arafah dan Mina yang jauh lebih baik dibanding di Madinah.
Kesimpulan
Secara umum, transportasi di Mekkah adalah titik terlemah dalam penyelenggaraan haji Indonesia tahun ini. Namun kalau mau dicari akar masalahnya, seharusnya Indonesia tidak harus (dan tidak perlu sama sekali) menjalankan armada 600 bis di negeri orang untuk melayani ratusan ribu jamaah. Lebih baik berjibaku (bayar lebih mahal) mencari pondokan yang dalam walking distance (bisa berjalan kaki) dan meninggalkan sama sekali chaos mengurus armada bis di wilayah yang sama sekali berbeda dengan mengurus bis di Pulogadung.
Sementara untuk hal-hal lain mulai dari keberangkatan di embarkasi, penyambutan di Jeddah, antisipasi keterlambatan pesawat saat di Jeddah, penginapan transito di Jeddah, hingga pulang ke embarkasi bagi saya sudah sangat baik, saya merasa beruntung ikut haji tahun ini yang dikelola dengan pengalaman matang penyelenggaraan haji Indonesia yang telah tertempa bertahun-tahun.



HAJI TAHUN 2009,40 PERSEN PONDOKAN DEKAT MASJIDIL HARAM

Sumber: Republika, Rabu, 31 Desember 2008 pukul 10:02:00
JAKARTA– Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengakui masalah pondokan di Makkah menjadi penyebab kurang nyamannya jemaah dalam menunaikan ibadah haji tahun 2008. Untuk itu pihaknya menargetkan 40 persen jemaah haji Indonesia pada 2009 mendapatkan pemondokan di wilayah Ring I atau maksimal 1.500 meter dari Masjidil Haram.
“Depag mengakui terdapat hal yang tak sesuai perencanaan pada Penyelenggaraan Haji 2008, yaitu masalah pemondokan akibat pembongkaran bangunan di sekitar Masjidil Haram,” kata Menag dalam Refleksi Akhir Tahun Kinerja Departemen Agama 2008 di Jakarta, Selasa (30/12).
Dalam acara tersebut hadir Sekjen Depag Bahrul Hayat dan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Slamet Riyanto, Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar, Dirjen Pendidikan Islam Mohammad Ali, Dirjen Bimas Kristen Jason Lase
Menag mengatakan, untuk mengantisipasi persoalan serupa, pada penyelenggaraan haji mendatang, Departemen Agama akan berupaya lebih dini untuk menyiapkan penyewaan pemondokan haji tahun 2009 pada ring satu sebanyak 40 persen.
“Pada penyelenggaraan haji tahun 2009, Depag akan menyewa pondokan lebih dini pada ring satu, sebanyak 40 persen. Sedangkan sisanya 60 persen akan ditempatkan di dua atau tiga lokasi secara terpusat yang akses ke Masjidil Haram relatif mudah,” papar Menag
Menag mengharapkan, pada akhir Januaru 2009 penyewaan pemondokan di Makkah telah diperoleh gambaran sebelum pembahasan BPIH antara Pemerintah dan DPR RI .
“Sedangkan untuk pemondokan di Madinah, Departemen Agama telah menyepakati dengan pihak Majmuah untuk menempatkan jamaah haji Indonesia secara keseluruhan 100 persen berada di wilayah Markaziah atau di sekitar Masjid Nabawi.”
Untuk jangka panjang, lanjut dia, Depag telah menandatangani perjanjian kerjasama penyediaan pemondokan jemaah haji Indonesia dengan Syarikah Al Khujrah At Thayyibah pada 24 Desember 2008 di Jakarta.
“Kita optimis persoalan pemondokan haji bisa lebih diatasi, karena melalui perjanjian ini secara bertahap pihak Al Khujrah akan membangun pemondokan dengan kapasitas 100 ribu jemaah,” katanya.
Pada penyelenggaraan haji 2008, ujarnya, pemerintah berupaya menyediakan “suttle bus” ke Masjidil Haram bagi jemaah yang memperoleh pemondokan jauh, namun implementasinya kegiatan itu banyak mengalami kendala, khususnya pada puncak penyelenggaraan haji.
“Menag telah menugaskan Itjen Depag memeriksa masalah pemondokan di Mekah itu,” katanya.
Sementara itu, mengenai keterlambatan pemulangan jemaah haji yang terus berulang setiap tahun akibat keterbatasan “gate” bagi jemaah haji Indonesia, Menag Maftuh Basyuni mengatakan, pihaknya sudah pernah mengusulkan kepada pemerintah Arab Saudi untuk menambah bandara bagi keperluan pemulangan jemaah haji.
“Misalnya di Thaif yang dari sisi ibadah haji lebih enak, tidak perlu Miqot,” kata Menag.